⋘⊱╬†―۩― Chatter's Gelandangan Blog's ―۩―†╬⊰⋙
go to my homepage
Enter Here

Selasa, 07 Desember 2010

bersukur memiliki sahabat yang baik hati


Pernahkah kita menimbang-nimbang tentang bagaimana sosok diri kita di mata teman-teman kita, apakah kita sudah menjadi teman yang baik, atau teman yang sering menyakiti hati mereka, entah menyakiti secara terang-terangan ataupun di belakang mereka. Apakah kita sudah berusaha menutup aib mereka, atau justru mencari-cari kejelekannya dan membeberkannya pada teman-teman yang lain.

Menjadi seorang teman yang baik tentu tidak semudah men-teorikannya. Kita harus butuh kesadaran “lebih”, bukan sekedar menilai sesuatu dari sudut pandang kepentingan pribadi kita. Sebagai ilustrasi, mungkin ada seorang teman kita yang terkesan lebih “menutup diri” dari kita ketimbang kepada teman yang lain. Kita dengan sembrono mencela ketertutupan dirinya itu dengan memperuncing kesan itu dan menjelek-jelekkannya pada teman-teman yang lain.

Pernahkah kita introspeksi tentang sebab yang mungkin terjadi di balik itu? Mengapa ia bersikap lebih tertutup kepada kita? Apakah betul kita tidak pernah mengecewakannya atau menyakitinya? Terlepas sudah tepat atau tidaknya sikap “ketertutupannya” itu, sebaiknya kita harus lebih peka tentang sikap kita di depannya atau di belakangnya, apakah kita bisa menjamin bahwa ketertutupannya itu bukan merupakan ekspresi kekecewaannya karena begitu seringnya kita menjelekkan dia di hadapan orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuannya? Mending bila menjelekkannya itu dengan motivasi supaya ia bisa lebih baik lagi, namun justru menjelekkannya hanya untuk memuaskan nafsu dan memamerkan keunggulan kita dalam meng-‘analisis’ kekurangan orang lain dihadapan teman yang lain tanpa sepengetahuan teman yang kita jelekkan.

Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong teman. Namun bagaimanapun, menolong adalah suatu hal yang di satu sisi bisa berakibat baik, dan di sisi lain bahkan bisa menyakiti teman yang ditolong akibat kecerobohan kita sendiri sebagai penolong. Sebagai ilustrasi, si A dan B berteman sudah cukup lama, dan sudah saling berbagi suka dan duka karena berada dalam lingkungan kerja yang sama. Suatu ketika si B mendadak sakit dan masuk ke rumah sakit. Keesokan harinya, si A langsung berceloteh pada teman-teman yang lain bahwa si B tidak mampu membayar dan si A lah yang telah membayarkan uang-uang administrasi yang dibutuhkan si B di rumah sakit.

Suatu hal yang terlihat sepele, namun tidak pantas terjadi. Omongan si A tersebut malah kemudian menjadi kekecewaan bagi teman-teman yang lain tentang ketidakpantasan sikap si A yang membeberkan kebaikan sendiri. Ditambah sikap-sikap si A sebelumnya yang dinilai telah cenderung terobsesi untuk menampilkan kebaikan, kepintaran dan kehebatannya. Padahal si A dikenal sebagai seorang yang berpendidikan, pandai dan alim. Si A seharusnya sudah sangat paham dengan nilai-nilai dalam agamanya atau minimal prinsip etika universal yang seyogyanya sudah menjadi pemahamannya sebagai seorang cendikia. Menyebut-nyebut kebaikan sendiri, meski kelihatan perkara sepele, bukanlah sesuatu yang pantas, apalagi mengingat kapasitasnya sebagai sosok intelek. Ambisi pribadi kita supaya dianggap orang lain sebagai orang mulia justru terkadang malah mendegradasi martabat kita sendiri bahkan pada tingkatan yang paling dasar sebagai seorang manusia.

Alangkah bahagianya menjadi orang yang rendah hati yang bukan sekedar polesan di luaran saja, suka introspeksi diri, dan tidak arogan dan ambisius menunjukkan kelebihan dan keunggulan sendiri yang tidak jarang mengorbankan perasaan teman-teman yang lain. Orang yang tidak hanya menguasai teori tentang introspeksi, atau tentang bagaimana bersikap atau bagaimana menjaga perasaan orang lain dengan penjabaran yang indah, namun dalam prakteknya ia sendiri menjadi orang terdepan yang melanggar prinsip-prinsip itu.

Pernahkah anda disakiti oleh teman sendiri? Tindakan pertama yang wajib kita lakukan tentulah introspeksi. Sebaik-baiknya kita, seberapa kuatnya kita berprasangka bahwa kita memang orang yang baik dan bisa menjadi teman yang baik, sangat mungkin ada hal-hal yang luput dari kesadaran kita, karenanyalah sebagaimana saya sebutkan di awal, bahwa kesadaran ‘lebih’ merupakan tuntutan yang sangat niscaya. Saya akui saya sendiri masih belajar dan masih belum bisa sepenuhnya mencapai tahap kesadaran ‘lebih’ bahkan pada level yang dasar.

Siapapun dan dimanapun anda, bersyukurlah, karena saya yakin anda pasti punya beberapa atau banyak teman yang baik. Teman yang baik itu tak terhingga nilainya. Teman yang kita merasa aman dari lisan dan perbuatannya. Teman yang mampu menjaga aib dan kekurangan kita. Teman yang mau menjaga dirinya untuk tidak menyakiti kita baik di depan atau di belakang kita. Teman yang tidak hanya ‘berpura-pura’ baik dengan polesan sikap dan kata yang manis tapi di belakang justru mencari-cari aib kita. Teman yang tulus. Teman yang saat kita berbicara padanya, kita merasa tentram dan damai............!


0 komentar:

Posting Komentar

 

Template by Nd0n