⋘⊱╬†―۩― Chatter's Gelandangan Blog's ―۩―†╬⊰⋙
go to my homepage
Enter Here

Minggu, 16 Januari 2011

Keistimewaan Yogyakarta, Dialektika Kebudayaan


Sejenak merenung tentang kota jogja....kota yang begitu indah... penuh dengan panorama.... 
Ya.... di kota inilah aku di lahirkan... di besarkan... dengan berbagai macam kesenian tradisional khas kota jogja....
Sedikit berbagi pemikiran... pemahaman tentang kota Jogja...

November 2010, mencuat isu besar yang menggoncang mayoritas masyarakat Yogyakarta, bermula dari pertemuan empat mata antara Sri Sultan HB IX ( Gubernur DIY ) dengan Susilo Bambang Yudhoyono ( Presiden ) di Gedung Agung Yogyakarta.
Hasil dari pertemuan itu, menggugah kesadaran publik terutama warga Yogya untuk meninjau kembali asas demokrasi, monarkhi, kraton, Pilgub ( Pemilihan Gubernur), penetapan, referendum, dan sederet istilah-istilah baru, yang menjadi tanda tanya bagi warga Yogya yang dikenal ’adem ayem tentrem’ tersebut.
Pasca tatap muka kedua tokoh tersebut, masyarakat Yogya seolah diuji ‘keimanannya’, keyakinan kepada budaya turun temurunnya, keyakinan kepada sejarah negerinya. Mengapa Yogya, yang notabene sangat mendukung NKRI, seperti dilanda krisis Nasionalisme. Seolah-olah dianggap tidak mau menerima aturan main demokrasi dari pusat.
Isu paling pokok bagi masyarakat adalah memilih “penetapan” atau “pemilihan” untuk gubernur dan wakil gubernur Yogya. Masyarakat seperti disodori buah simalakama, di satu sisi penetapan adalah kesepakatan sistem turun temurun, sedangkan pemilihan adalah kesepakatan sistem berasas demokrasi masa kini.
Sebagai ilustrasi, cerita berikut adalah perumpamaan situasi di Yogya saat itu :
Ada dua orang bersaudara, sang kakak pandai sekali, bernama Amir, adiknya bodoh bernama Bedu. Dua orang ini berdebat tentang hasil jawaban 3 x 8. Si Amir yang pandai tentu bersikukuh bahwa 3×8 adalah 24, sedangkan si Bedu yang bodoh ngotot mengatakan 3 x 8 adalah 23. Keduanya saling mempertahankan jawabannya. Hingga si Amir berkata “bagaimana kalau kita tanya guru kita, jawaban siapa yang paling benar? 24 atau 23?”. Si Bedu setuju dan berkata “jika jawabanku, 23, adalah salah, maka aku akan memotong leherku. Dan jika jawabanku, 23, adalah benar, maka aku akan melepas topimu yang congkak itu”. Keduanya lalu pergi menemui gurunya.
Dalam perjalanan, si Amir sangat yakin atas jawabannya. Ya, 3×8 pastilah 24.
Ketika sampai di rumah gurunya, si Amir menceritakan perdebatan hasil 3×8 itu. “guru.. 3×8 yang benar adalah 24 kan?”. Si guru terdiam, berganti-ganti memandangi dua kakak beradik itu, lalu berkata “Nak, 3 x 8 adalah 23”.
Si Amir bertanya keheranan, namun si guru bersikukuh bahwa 3 x 8 adalah 23. Kecewalah si Amir, ia lalu pergi jauh, meninggalkan guru dan si Bedu. Belum jauh berjalan, si guru sempat berteriak “Nak, kalau hujan turun, jangan berteduh dibawah pohon”.
Sepanjang jalan, Amir merasakan kekecewaan yang hebat, bagaimana mungkin seorang murid yang selalu mengikuti ajaran guru, yang selalu memahami pelajaran guru, jawaban yang seharusnya benar disalahkan.
Ketika sudah jauh berjalan, hujan turun. Si Amir mencari tempat berteduh. Ia melihat pohon besar. Amir berlari menuju pohon itu. Sebelum sampai di bawah pohon, ia berhenti, ia mengingat-ingat pesan gurunya, bahwa kalau hujan, jangan berteduh dibawah pohon. Belum sempat ia menemukan jawaban kebingungannya, pohon didepannya roboh.
Si Amir kaget, dan muncul kembali kekagumannya pada sang guru. “wah, guru memang hebat, tahu peristiwa yang akan terjadi”. Dengan kekagumannya itu, si Amir memutuskan pulang ke rumah gurunya.
Sampai di rumah gurunya, si Amir kembali teringat perdebatan dengan adiknya, walaupun disitu tidak ada si Bedu. Amir bertanya “guru, mengapa guru menyalahkan saya, bukankah selama ini guru memberi pelajaran 3×8 adalah 24?”. Si guru, dengan bijak berkata “Nak, memang betul, 3×8 adalah 24, dan jawaban adikmu yang 23 itu yang salah”. Si Amir mendesak “lalu mengapa guru menyalahkan jawaban saya?”. Si guru menjelaskan “Nak Amir, muridku, lihatlah dirimu, kau hanya mempunyai seorang adik, seandainya tadi aku membenarkan jawabanmu, kau akan kehilangan adikmu, dia akan memotong lehernya”. Si Amir diam, ia mencoba mencerna penjelasan gurunya. “Nak, ada hal yang lebih penting daripada logika matematikamu itu, yaitu nyawa adikmu””kau jangan mengagung-agungkan kecerdasan otakmu dengan mengorbankan nyawa saudaramu”.
Si Amir kini mulai paham kata-kata gurunya. Memang, si Bedu tidak secerdas dirinya, seintelek dirinya, namun sungguh arif jika kecerdasan yang sejati bukanlah memaksakan logika-logika, namun bagaimana menggunakan logika untuk kemanusiaan, demi kehidupan.
Sepenggal cerita diatas bisa dijadikan ilustrasi yang terjadi di Yogya. Apakah kita akan memaksakan logika demokrasi, logika sistem modern kepada masyarakat Yogya yang sudah nyaman dengan sistem tradisi.
Bukankah lebih baik menjaga kehidupan masyarakat Yogya yang selalu “adem ayem tentrem” ini dengan segala kearifan lokalnya, kearifan sistem tradisi. Ingat, kita memakai sistem kepresidenan, legislatif, eksekutif, yudikatif, baru 65 tahun yang lalu. Padahal sistem kasultanan sudah diyakini masyarakat Yogya sejak 265 tahun yang lalu (sejak Sri Sultan I)… ibarat cucu era modern, mengajari playstation kakeknya yang hanya mengenal dakon.. walaupun hanya bermain dakon, namun permainan itu tidak merusak mata, dan mengajarkan bagaimana berlaku adil dan merata, meminjam kekayaan untuk diputar kembali dengan satu tujuan, tanpa ada lubang yang terlewat…. Semoga kelak, tidak perlu lagi berdebat kebenaran peribahasa “Kacang yang lupa pada kulitnya” karena keistimewaan itu adalah dialektika, dialektika kebudayaan adiluhung Yogyakarta tentu saja… Hamemayu Hayuning Bawono.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Net Work

 

Template by Nd0n